Meludah ke Langit Muka juga yang Basah.
**Notes: Tulisan saya ini berhasil memenangkan lomba penulisan dengan tema Korupsi tingkat Lembaga Minat Bakat fakultas Ilmu Komunikasi Untar tahun 2012**
Sepotong
peribahasa itulah yang cocok untuk menggambarkan situasi KPK saat ini. Melawan
pihak yang berkuasa akhirnya justru dirinya sendiri yang mendapat
kesulitan.
KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upayanya mewujudkan
Indonesia bebas dari korupsi telah memberi dampak besar bagi pemerintahan.
Sejak terlambat didirikan pada tahun 2003 KPK telah berdiri sebagai badan
independen untuk mencukur segala tindak pidana korupsi. Para pekerja
pemerintahan tak urung dibuat kocar-kacir oleh tiap gerakan KPK. Mulai dari
dugaan korupsi dalam proyek program pengadaan busway pada pemda DKI Jakarta
(2004) sampai kasus suap proyek wisma atlet SEA Games yang memunculkan berbagai
nama petinggi negeri, yang kasusnya sendiri telah mencuat dari 2011 lalu, tapi
belum selesai sampai detik ini. Banyak tersangka korupsi lain yang diseret ke
pengadilan Tipikor , dari pihak swasta bahkan sampai menteri. Dalam hal ini
kerja KPK bisa dibilang mengesankan.
Karena praktik kerjanya yang seolah mengusik ‘lumbung padi’ para koruptor gemuk maka itu, tidak heran jika dalam
tugasnya, KPK banyak tersandung berbagai kasus yang dengan maksud atau tidak,
membuat pergerakan KPK tercekat. Sebagai contoh kita tengok saja kontroversi
yang dulu menimpa ketua KPK periode kedua, Antasari Azhar. Pertanyaan yang
timbul dimasyarakat, Apakah benar ketua KPK yang sedang dalam masa keemasannya,
dapat terlibat kasus pembunuhan yang dibumbui dengan drama perselingkuhan?
Karir Antasari sebagai sosok ketua yang dikagumi oleh para bawahan dan ditakuti
oleh para musuhnya, hancur dalam semalam, ketika seluruh media mem-blow up kasus yang menimpanya. KPK
dipermalukan bahkan ada rencana membubarkan KPK diumurnya yang baru 5 tahun
saat itu. Dan para ‘dalang’ pun tersenyum penuh kemenangan.
Kemudian, muncul lagi kasus fenomenal yang disebut Cicak Vs Buaya. Istilah tersebut menjadi
populer setelah Susno Duadji yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Polri mengibaratkan KPK sebagai seekor cicak yang tidak
ada apa-apanya dibandingkan Polri yang ibarat seekor buaya. Seperti diketahui
banyak kasus korupsi yang menempel di tubuh Polri dan harus diusut oleh semua
pihak yang anti korupsi terutama KPK. Kisah ini berujung pada terbongkarnya
kasus direktorat pajak dengan ditangkapnya Gayus Tambunan dan menyeret beberapa
jenderal polisi yang bersekongkol merugikan Negara. Jadi pantaskah kita
memberi ucapan terima kasih untuk Susno Duadji sebagai seorang whistle blower? Biarkan publik sendiri yang
menilai.
Tidak berhenti disitu saja, bentrokan antara dua lembaga penegak
hukum ini terjadi kembali puncaknya pada malam 5 Oktober lalu dimana terjadi
penangkapan yang gagal dilakukan beberapa petugas polisi dari polda Bengkulu
dan provost Polri kepada penyidik KPK yang bernama Novel Baswedan di gedung
KPK. Novel yang dasarnya berasal dari kepolisian berperan sebagai wakil Kepala
Satuan Tugas Tim Simulator dalam mengungkapkan kasus dugaan korupsi proyek
simulator SIM. Novel yang dinilai sebagai salah satu penyidik terbaik KPK
diduga melakukan penganiayan seorang tahanan di Bengkulu tahun 1999 namun
kasusnya terhenti di 2004 an anehnya kembali dibuka Polri. Sebenarnya apa maneuver yang hendak dilakukan Polri?
Peristiwa ini tentunya semakin membuat publik bertanya-tanya.
Alih-alih dibuat penasaran masyarakat menjadi sangat gerah melihat
tindakan Polri yang selalu berupaya untuk mengkerdilkan KPK. Kita semua dapat
menilai bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Polri. Apakah mungkin ditubuh
Polri tersimpan borok yang lebih parah daripada yang kita ketahui selama ini?
Dan nampaknya sang buaya mulai gelisah dengan keberadaan si cicak kecil? Sekali
lagi, biarkan publik sendiri yang menilai.
Masyarakat nampaknya semakin kritis dalam mendukung upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia
Dukungan terus diberikan kepada KPK sebagai satu-satunya
lembaga pemberantas korupsi yang dipandang layak mendapat kepercayaan seluruh
rakyat , dari sebatas jejaring sosial sampai turun ke lapangan melakukan aksi
unjuk rasa. Bila hal ini terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari
Presiden bukan tidak mungkin jika terjadi kasus politik yang besar di
Indonesia, yang melibatkan berbagai lembaga tinggi negara dan kosntitusi
dianggap tidak ada artinya lagi. Dan Negara yang sistem birokrasinya pincang ini
akan terseok-seok menuju kehancuran karena hilangnya rasa kepercayaan publik.
Jadi apakah kita sebagai warga Negara yang cerdas hanya pasrah saja
melihat tikus-tikus rakus yang menguasai uang rakyat dengan kenyang,sementara
ada disekeliling kita seorang anak sambil menggendong adiknya mengais sampah
untuk bertahan hidup? Kawan, terlalu muluk memang jika berharap budaya korupsi
akan hilang begitu saja. Tapi apa salahnya menjadikan momen ini sebagai salah
satu langkah mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi? Saatnya membantu KPK
membersihkan para oknum ‘nakal’. Sekali tepuk, dari sabang sampai marauke
terselamatkan!
0 komentar