Besok
hari ulang tahunku yang ke 26. Dan juga hampir satu tahun telah berlalu
semenjak kami terakhir kali bertemu. Aku masih ingat perkataannya
“ Sayang, kamu tahu kan kerja kantoran bukan tipeku.” suaranya yang nyaring dan
terkesan acuh tertangkap indra pendengaranku, suara yang selalu kurindukan,
yang selalu ingin kudengar sebagai kebutuhan dasarku. Namun aku tak segera
membalas ucapannya, karna aku paham benar jika dia masih belum selesai
berbicara. Kuhisap pangkal rokokku dalam-dalam, dan menunggunya melanjutkan..
“ Aku ingin bebas sayang, bekerja tapi tidak seperti bekerja. Aku tidak tahan
kalau harus berdiam diri disatu tempat dalam waktu 8 jam sehari. ” Kuhembuskan
asap searah dengan hembusan angin, tanpa menatap wajahnya.
“ aku bekerja sebagai jurnalis, aku ingin pergi meliput berbagai kejadian,
mengorek pengalaman dari setiap sudut tempat yang ku kunjungi.
Mengetahui hal-hal baru yang diluar nalarku, hal-hal luar biasa yang aku tahu
ada diluar sana.
Hidup ini hampa kalau kita hanya mengikuti arus!”
Perkataanya terdengar menggurui dan terlalu bersemangat, memang seperti itulah
gadisku. Gadis yang kusukai sejak dibangku kuliah.
Aku tahu maksud dari kalimat terakhir perkataanya, lagi-lagi ia menyindir
sifatku yang selalu santai dalam segala hal. Namun tidak untuk urusan kali itu.
Kutatap matanya dalam-dalam, mata yang terlihat cerdas mewakilkan isi pikiran
dari pemiliknya.
Aku sangat mengerti seberapa besar hasrat dan kecintaanya sebagai seorang
jurnalis, melebihi dari siapapun. Namun sampai saat itupun aku masih belum bisa
membiarkannya, bagaimana mungkin bisa?
“ Sekarang sudah tahun ke 3 aku bekerja di Kompas. Redaktur ku kemarin nanya
lagi, bagaimana keputusanku tentang peliputan ke Afghanistan.” Katanya lagi,
akhirnya memberiku kesempatan untuk berbicara.
Kumatikan api rokokku sebelum membuangnya keluar jendela , dan mulai bersuara.
Aku sudah siap beradu argumen yang kutahu akan dimenangkan olehnya. Aku
berdeham untuk mengusir serak ditenggorokan, aku ingin perkataanku terdengar
setegas mungkin ditelinganya.
“ Sayang, Afghanistan terlalu berbahaya buat kamu, aku tahu kamu pasti tertarik
dengan hal yang ada diluar sana. Tapi ini terlalu beresiko, bagaimana nanti
dengan rencana kita? Maafin aku kalau egois, tapi aku ga ingin kamu pergi.
Tolong dengerin kata-kata aku kali ini aja.”
Aku berusaha menahan intonasi suaraku selembut mungkin untuk menyentuh hatinya,
karena sedikit saja nada suaraku terdengar meninggi pasti akan memancing
amarahnya.
“ Sayang, ini kesempatan yang ga datang 2x! Ga setiap hari jurnalis perempuan
dikirim untuk liputan ke medan perang seperti ini. Anggap saja sebuah batu
loncatan untuk karir ku juga sebagai wartawan.”
Aku terdiam mencerna perkataanya yang terdengar ambisius. Keras kepala dan
ambisius, ya, itulah salah satu sifat dari wanita yang aku cintai ini. Batu
loncatan dalam karirnya? bagaimana dengan ku? bagaimana dengan kami?
Aku baru saja ingin membalas argumennya ketika ia berkata dengan sedikit
bergetar, “ Hanya 6 bulan sayang, aku akan kembali sebelum ulang tahunmu yang ke
26. Setelah itu aku mungkin sudah siap untuk menerima lamaran mu.” Kemudian ia
menutup perkataannya dengan senyuman, dan mata cerdasnya itu terlihat
berkaca-kaca.Emosional, satu lagi tambahan sifat yang dimiliki wanita yang
kucintai ini.
Aku tahu pasti matanya akan menetesnya air mata bila saja satu kata lagi
terucap melalui bibir manisnya.
Aku menghampirinya yang saat itu sedang duduk di sofa ruang tamu apartemenku,
dan meraih tubuhnya untuk kudekap kedalam pelukanku. Tubuh mungilnya tenggelam
diantara lengan dan dadaku yang bidang. Ku tutup kedua mataku untuk merasakan
aroma tubuhnya yang sangat kusukai, aroma khas campuran dari parfum yang sudah
bercampur dengan keringatnya. Ah, aku memang sangat mencintai wanita ini, aku
terlalu takut untuk kehilangannya karena bagiku kehadirannya bagaikan sebuah
rumah untukku berlindung dan merasakan nyaman. Ku eratkan pelukanku untuk
menikmati kehangatan yang berasal dari tubuhnya. Aku berharap waktu berhenti
dan memperbolehkan kami berpelukan seperti ini untuk selamanya, tidak ada
perasaan takut akan kehilangan seseorang yang amat dicintai.
Selama beberapa saat kami hanya berpelukan tanpa bersuara, tenggelam dalan
pikiran kami masing-masing.
Lalu ketika seolah waktu berdetak kembali aku tersadar bahwa aku memang harus
membuang keegoisanku dan membiarkannya pergi mengikuti jiwanya yang bebas.
seketika perumpamaan dari Dalai Lama muncul dari dalam benak ku;
Give the ones you love wings to fly,roots to come back and reason to stay.
Hujan mengguyur ibukota, cuaca di bulan desember memang terasa sangat berbeda
seolah menambah rasa rindu didada, menguatkan keinginan untuk berjumpa dengan
sanak saudara dan berkumpul bersama orang-orang tercinta. Kupacu mobilku
perlahan menembus hujan dengan jarak pandang terbatas, sambil mendengarkan
radio kesukaan kami berdua. Aku mencoba menangkap lagu yang sedang diputarkan,
let her go dari passenger.
Aku ingin segera pulang, menjauh dari segala kepenatan urusan pekerjaan dan
tenggelam kedalam kegelapan jiwaku tanpa dirinya. aku sadar hati ku menjerit
pilu, aku ingin segera pulang kedalam pelukannya, aku merindukan keberadaannya.
Sosoknya yang penuh semangat, canda tawanya yang menyegarkan hari-hari ku,
suara riangnya yang tak pernah habis untuk berceloteh, sifat keras kepalanya
yang menjengkelkan, dan jutaan hal lain yang kurindukan darinya. Tanpa kusadari
aku meneteskan air mata.
Sebab, wanita yang sangat kucintai kini telah terbang terlalu jauh untukku gapai…
0 komentar